Kamis, 30 Mei 2013

Curhat tentang Sekolah


"Buat apa kita sekolah,buat apa kita sering baca buku, buat apa kita ikuti diskusi-diskusi, kalo masih banyak orang yang kelaparan." -Soe Hok Gie-

            Memang benar, tujuan kita sekolah apakah hanya untuk kesejahteraan kita sendiri? Kalo memang seperti itu tujuan kita sekolah, sepertinya kita hapus saja sistem wajib belajar sembilan tahun. Banyak orang-orang miskin diluar sana yang masih sulit mengenyam dunia pendidikan. Di sebuah daerah kaya yang terisolir seperti kalimantan dan papua, sekolah adalah sesuatu yang mahal. Sistem wajib belajar sembilan tahun sepertinya hanya untuk menutupi kebobrokan pemerintah dalam bidang pendidikan. Pemerintah sepertinya ingin terlihat sebagai Ganesha dalam dunia pendidikan. Namun sistem wajib belajar tersebut malah semakin mencekik kesempatan kerja di indonesia. Perusahan-perusahaan besar kebanyakan hanya mencari lulusan sarjana, atau SMA sedrajat. Dan semua itu karna adanya sistem wajib belajar sembilan tahun.


                Manusia-manusia yang tidak menuntaskan sistem tersebut dianggap sebagai Manusia Batu. Dan seorang manusia batu tidak pantas mendapat pekerjaan di jaman Baru ini. Sekarang coba kita lihat kebelakang, pemerintah memberikan sistem wajib belajar sembilan tahun tetapi namun sampai sekarang belum ada resolusi yang tepat untuk mengentas manusia-manusia batu menjadi manusia baru yang maju. Pemerintah memberikan program B.O.S. untuk meringankan biaya pendidikan, namun sekali lagi naluri hewani mereka membuat pendidikan murah harus ditempuh dengan birokrasi yang bertele-tele. Mereka harus menyerahkan kk miskin kepada sekolah. Pihak sekolah seolah ingin memasang tanda di jidat mereka, bahwa mereka tidak memiliki kekuatan. Dan kk miskin tersebut harus didapat dengan proses yang lebih bertele-tele. Para birokrat itu seperti anjing buatku. Mengais tulang di sampah yang terbuang. Mereka sepertinya haus akan rupiah. Menodongkan pena demi rupiah. Mereka minta rupiah dari para buruh bangunan, buruh pabrik, tukang becak, dan petani. Hanya sebuah tanda tangan yang seharusnya gratis. Para birokrat itu lebih nista dari para pengemis di persimpangan jalan.


                Sekarang, banyak dari mereka,kalangan berpendidikan malah memperkuat sistem birokrasi tersebut. Mereka mebuat bermacam-macam dalil. Menentukan hukum dan peraturan baru. Mereka yang seharusnya memiliki kekuatan untuk membentuk pemerintahan yang lebih baik malah menjadi budak para penguasa. Mereka membentuk sebuah birokrasi yang kuat. Yang membuat saudara kita di papua dan di kalimantyan sana harus berhadapan dengan kekuatan intelektual yang tidak imbang. Memang ada kalangan intelektual yang anti birokrasi pemerintah. Tapi kebanyakan dari mereka lebih memilih bungkam. 


                Banyak manusia biasa seperti saya yang ingin keluar mencakar langit kekuasaan. Namun tidak memiliki kekuatan. Hanya bisa menulis dan belum mampu (atau belum mau?) membentuk kekuatan untuk turun kejalan. Dan mereka yang sudah berani turun kejalanpun tidak pernah didengarkan oleh dewan perwakilan rakyat yang terhormat. Mereka lebih meributkan seperti apa gedung baru DPR nantinya, apakah harus mewah atau biasa saja. Oke, sekarang pembuatan gedung itu ditunda. Tapi penundaan itu tidak digunakan untuk membangun sekolah-sekolah yang sudah lapuk dimakan rayap.


                Biaya sekolah memang gratis. Tapi kita perlu biaya untuk membangun infrastruktur sekolah. Seperti itulah jawaban pihak sekolah ketika ada orang yang bertanya tentang buat apa biaya spp itu? sebenarnya program sekolah gratis itu memang ada. Tapi pemerintah belum secara total menanganinya. Banyak anak-anak jalanan yang sudah menamatkan sekolah gratis, namun apakah ada perushaan yang mau menerima tamatan sekolah gratis? Saya guru smp, saya suka panggil dia si komo. Si komo pernah bilang kalau sekolah itu tidak pernah ada yang gratis sama sekali . kita masih perlu biaya untuk membangun laboraturium,agar infrastrukturnya lebih maju.dan sekolah kita bisa meraih predikat RSBI. Nah gila kan? Sekarang sekolah dipadang oleh kaum yang berduit sebagai ladang bisnis yang mutakhir. para pejabat di sekolah malah sibuk dengan menaikan predikat sekolahnya masing-masing. Tentu saja alasanya adalah untuk menaikan biaya sekolah itu. kalau sekolah RSBI menuntut kita membayar spp mahal itu akan dianggap wajar,karna sudah dianggap  internasional.


                Sebenarnya masalah pembayaran spp disekolah biasanya dirapatkan oleh komite sekolah. Nah sayangnya,di SMP-ku dulu, yang namanya komite sekolah tidak diambil dari semua orang tua siswa. Mereka adalah orang yang dianggap komite adalah yang bergelar doktor, mereka yang berkantong tebal, dan mereka yang memiliki titel pendidikan lumayan. Nah dari golongan menengah kebawah tidak pernah dirangkul untuk merapatkan masalah internal sekolah. Jadi semua keputusan seolah sudah tepat jika komite sekolah yang memutuskan. Mereka yang memiliki kk miskin tidak tau menahu tentang kebijakan sekolah. Nah kalau begini kita bisa tahu kenapa indonesia selalu diatur oleh orang orang kalangan menegah keatas. Karena, dari awal sekolah saja sudah di batasi, bahwa yang bisa memberi peraturan adalah mereka yang memiliki kekuatan. Dan mereka yang dianggap tidak memiliki kekuatan hanya diharuskan mengangguk saja.


                Sebagai generasi muda kita selalu dikatakan penerus generasi, penerus bangsa. lhah, kita kan tahu bahwa generasi sebelum kita itu sudah bobrok. Apakah kebobrokan itu harus kita teruskan. Apakah itu semacam dosa waris untuk kaum pemuda? Kita selalu mengikuti arus. Jika generasi kita sebelumnya hanya bisa diam maka pada generasi kita kali ini harus benar benar berjalan melawan arus bersama-sama. Membentuk sebuah kekuatan yang terpadu dan berkekuatan. Sekarang ini kita terlalu dimakan oleh berita di televisi. Sehingga persatuan para pemuda seperti dipangkas habis. Pemuda dari daerah A berorasi untuk melengserkan presiden. Dari kota B berorasi tentang kontroversi fatwa haram membeli bahan bakar bersubsidi. Dari kota C teriak-teriak tentang korupsi di sebuah partai. Jalan mereka benar benar seperti diatur oleh sesorang. Seseorang yang menginginkan kita mengangkat sebuah kasus baru, untuk melupakan kasus lama. Mempermasalahkan rumput-rumput yang gersang dan melupakan pohon dari masalah-masalah itu, pohon yang sudah mencakar langit kemanusiaan. seharusnya kita gabungkan semua pemuda dari berbagai daerah, kita diskusikan darimana sebenarnya masalah itu berasal. Dan kita hancurkan akar masalah itu, bersama. Kita memerlukan kekuatan yang besar. Kekuatan yang kuat tanpa kekerasan-kekerasan konyol.


                Saya ga tau seperti apa dunia pemerintahan dan pendidikan kita berapa tahun kemudian. Seperti sebuah mimpi buruk yang berulang dan terus terjadi. Kita harus bangun dari mimpi yang memuakan ini. Kita harus bisa. Saya percaya bahwa kita belajar, kita membaca buku, kita berdikusi bersama tidak akan sia-sia jika kita benar benar memiliki tujuan yang sama dan jelas. Berbagai kekuatan dijadikan satu. Untuk melawan sebuah masalah yang besar. Kita satukan semua pemikiran yang kita punya. Sehingga pendidikan yang kita dapat dengan susah payah selam ini bisa berguna untuk bangsa indonesia.


                Sekarang banyak dari manusia-manusia muda di negara kita ini sibuk dengan hidupnya sendiri. Memperlentekan dirinya sendiri untuk gengsi. Sekolah dianggap sebagai jembatan untuk memperkaya diri. Sekolah dianggap alat yang tepat untuk menjadi pemuas hasrat akan dunia yang tak ada habisnya. Mereka seperti mengejar bayangan. Ga pernah selesai, dan ga ada gunanya.


                Kita memperlukan seorang yang benar-benar berani. Berani untuk mengajak kita turun kejalan. Berani menyatukan semua masalah. Berani melawan. Dan yang paling penting, berani melawan godaan dunia demi kepentingan semua bangsa.

                Saya yakin. Salah satu dari generasi kita memiliki orang yang berani. Dan tidak hanya bungkam dengan segala masalah ini. Dia adalah orang yang mencari ilmu untuk membesarkan indonesia. Kita mebutuhkan seorang Tan Malaka baru di indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar