"Ibarat di Medan Perang, jika musuh memerangi dengan senjata, maka harus dilawan dengan senjata. Begitu juga, jika musuh memerangi generasi muda dengan metal, maka kita lawan dengan metal pula. Melalui metal, kita lakukan kickback!" -M. Hariadi 'Ombat' Nasution-
Jangan berprasangka buruk dulu, apalagi mencela
komunitas yang satu ini. Meski tampil urakan, ”ngepunk”, metal, tapi
soal prinsip nomor satu. Ngeband, tapi saat adzan berkumandang, mereka
segera menghentikan aktivitasnya dan shalat. Lirik mereka bukan pula
anti Tuhan, memuja setan dan kebebasan, melainkan bersumber dari Sirah
Nabawi, al Qur’an dan hadits. Jangan anggap enteng, underground pun
menggempur Zionis.
Sholat Isya Berjamaah,
pada saat URBAN GARAGE FESTIVAL 2 di Bekasi, 2010
pada saat URBAN GARAGE FESTIVAL 2 di Bekasi, 2010
Salah
satu personil komunitas underground, Tengkorak, Ombat, saat dijumpai
Sabili, mengatakan, untuk menghancurkan negeri-negeri Muslim, khususnya
di Indonesia, tak perlu dengan perang fisik, senjata, atau pun bom
nuklir. Tapi cukup dijejali dengan drugs (obat-obatan terlarang), miras,
film porno, media gosip, termasuk dengan musik.
Kesadaran
itu mulai tergugah, tatkala Ombat pernah didatangi oleh media Barat
saat hendak mewawancarainya. ’’Awalnya, gue ditanya siapa saja
personilnya. Namun, sampai di satu titik, gue terkejut tatkala reporter
asing itu ngomong begini: perang itu banyak bentuknya. Untuk menjajah
negeri ini cukup dengan budaya. Dari obrolan itulah, gue justru mendapat
hidayah. Selanjutnya, gue cari tahu dengan banyak membaca buku tentang
keislaman,” ujar Ombat dengan bahasa slanknya.
Bukan
rahasia umum lagi, derasnya musik beraliran cadas dari Barat, selalu
mentransformasi misi, ada hidden agenda untuk merusak moral generasi
muda. Ideologi anti kemapanan, anti negara, anti kapitalisme, anti agama
adalah tema yang diusung lewat musik dengan berbagai macam jenis
aliran, seperti metal, punk, hardcore, hingga rap.
Yang
membuat reporter asing terkejut, ternyata di Indonesia, ada sebuah
komunitas metal yang punya jatidiri. Tidak mengekor ke Barat dengan
paket gaya hidupnya yang bebas, semau gue. “Kita bukan metal ala Barat,
kita beda dalam hal eksepsional maupun attitude. Kita tetap jalankan
shalat, puasa, menjauhi larangan agama, seperti narkoba, miras dan
makanan haram lainnya,” tandas Ombat yang juga pengacara Muhammad
Jibril.
Ombat
sadar, musik bisa dijadikan alat dan doktrin untuk pembodohan. Itulah
sebabnya musik dilawan dengan musik. Tak dipungkiri, musik metal identik
dengan Barat. Namun komunitas underground Muslim hanya menjadikan musik
sebagai sarana saja. Komunitas ini ingin membangun perspektif baru:
bermusik tapi punya moralitas dan tetap religius.
”Musik
memang bikin kita lalai, banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Tapi
kita harus tahu, ketika ada kekuatan besar untuk menghancurkan moral,
kita tepis dan lakukan perlawanan dengan attitude. Kita tunjukkan bahwa
kita beda. Itu saja membuat mereka frustasi dan gagal untuk merusak
orang muda. Mereka pikir, kita metal habis, yang bisa dicuci otaknya.
Intinya, musik boleh saja, tapi jangan ikut mereka, satanisme sebagai
ideologinya. Ketika kita beda, fenomena yang muncul adalah anak metal
pun shalat. Fenomena itu muncul sejak 1999, awal 2000, berkembang hingga
sekarang,” tukas Ombat yang sudah 16 tahun ngeband metal.
Komunitas
underground memang bukan halaqah. Komunitas ini hanyalah kumpulan
orang-orang muda yang energinya diluapkan dengan bermusik cadas. Tapi
cadas bukan sembarang cadas. Ada pesan dan misi yang terkandung di dalam
lirik lagu yang mereka mainkan. Siapa nyana, underground pun anti
Zionis. Mereka memboikot makanan produk Zionis. Mereka membuat T-Shirt
bergambar anti Zionis. Bahkan lirik dalam lagu mereka pun mengecam
Zionis bedebah. ”Anti Zionis Action”. Begitulah genderang perang yang
mereka kobarkan lewat musik.
Dakwah Anak Metal
Bagi
aktivis dakwah, mungkin tak banyak yang tahu, bahwa ternyata ada yang
mengisi ruang ini sebagai sasaran dakwah. Bagi yang belum mengenalnya
lebih dekat, boleh jadi akan berprasangka buruk, menghina, mencaci,
memfitnah dan selalu beranggapan negatif dengan eksistensi komunitas
ini. Performance anak-anak muda ini memang terlihat angker, ”gokil”, dan
berbagai stigma buruk lainnya. Apalagi, label pada T-Shirt mereka,
sebagian ada yang berdesain tengkorak, dan huruf-huruf pentagram ala
Metal. Tapi siapa nyana, anak metal pun religius, shalat, peduli
Palestina, dan sekali lagi anti Zionis.
Tentu
saja, pola dakwah komunitas underground berbeda dengan dakwah pada
umumnya. Adalah Ombat (personil Tengkorak) dan Thufail al Ghifari
(vokalis The Roots of Madinah) -- lama mengisi ruang ini dengan bahasa
yang mereka pahami. Meski tidak berdakwah secara verbal, layaknya kiai
dengan santrinya, Thufail, Ombat dan rekan se-visi sesungguhnya sedang
berdakwah di tengah komunitasnya yang unik.
”Yang
jelas, gue tidak berdakwah seperti cara Aa’ Gym memberi nasihat dengan
bahasa verbal dan segudang dalil. Bahkan, seorang Aa’ Gym jika
dihadirkan di komunitas metal sekalipun, boro-boro didengerin. Tapi
kalau gue yang ngomong no problem, dan pasti didengerin. Karena memang
gue dakwah dengan bahasa mereka. Kesadaran beragama itu tumbuh dari
kesadaran individu masing-masing, tanpa harus menggurui. Gue punya cara
sendiri, berdakwah dengan bahasa tubuh. Waktunya shalat ya shalat. Bagi
gue memberi contoh itu dakwah yang paling efektif, ketimbang perintah,”
tukas Thufail.
Yang
menarik, komunitas underground, tidak mengenal istilah mentor. Di
antara mereka tak ada yang paling alim, semua sama-sama mencari
jatidiri. Yang memimpin, biasanya yang paling dituakan (senior). Dengan
akidah, komunitas underground dipersatukan untuk mencari persamaan.
Mereka menanggalkan khilafiyah atau perbedaan yang ada. Mereka memang
bukan aktivis halaqah, tapi tidak juga melarang individu komunitas
underground untuk gabung di halaqah tertentu. Mau gabung di HTI atau
Jamaah Tabligh oke-oke saja. Selama sumbernya jelas, al Qur’an dan as
Sunnah.
"Yang
jelas, kalo ngaji masing-masing. Kami ngaji dimana saja. Jika ada
taklim, gurunya Ustad Abu Bakar Ba’asyir, gue datang, artinya kita nggak
ngeblok. Di sini, khilafiyah tidak berlaku. Kalo nggak gitu, kapan
bersatunya. Insya Allah, kita ingin memberi contoh, bahwa musisi pun
bisa bersatu karena persamaan akidah. Perbedaan aliran musik bukanlah
gap, tapi lebih kepada segmennya saja. Pas ngumpul, selain bermusik,
kita biasanya ngobrol membahas hal-hal yang sifatnya pengetahuan. Di
Masjid Al Azhar, kami silaturahim antar musisi,” tandas Ombat yang sudah
mulai mengurangi performance baju metal dari luar. Ia mendesain gambar
bajunya sendiri tentang hal-hal yang berbau jihad, perang pemikiran
(ghazwul fikri) dan anti Zionis,” papar Ombat.
Dalam
sebuah diskusi di Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat, Thufail al
Ghifari pernah ditanya, kenapa harus bermetal-metal ria? Dengan enteng
ia menjawab, ”Gue hidup di lingkungan orang awam. Tapi se-metal-metal
gue, bila adzan tiba, gue pasti break, terus shalat. Dan tradisi itu gue
tularkan pada temen-temen yang lain. Se-metal-metal gue, jika Palestina
dizalimi, gue sakit hati. Bagi gue, masalahnya bukan pada label
seseorang, tapi bisakah mempertahankan nilai-nilai prinsip dalam diri
kita? Mending gue dilabelin orang awam, daripada dilabelin aktivis, tapi
gue nggak bisa kasih contoh di masyarakat. Gue berharap, waktu kita
jangan dihabiskan untuk berdebat, tapi berbuat, bukan pula dengan
wacana-wacana.”
Sabili
mencatat, ada beberapa kelompok band pelopor komunitas underground yang
menyisipkan visi keislaman dalam lirik lagu yang mereka mainkan, sebut
saja seperti: Tengkorak, GunxRose, Purgatory, The Roots of Madinah,
Salameh Hamzah, Aftermath, PMDI Rhymes. Masing-masing kelompok punya
karakter yang berbeda dalam melontarkan slogannya. Tengkorak, misalnya,
dengan slogan Anti Zionist Action. Atau GunxRose yang menyebut dirinya
modernitas puritan, punya slogan perlawanan: Membungkam Mulut-mulut para
Atheis. ”Jihad is Our Way” adalah salah satu topik dalam beberapa event
konser mereka. Atau Sound for Palestina di Taman Ismail Marzuki
beberapa waktu lalu. Bak bungker akidah, anak metal yang dinahkodai
Ombat, Thufail dan kawan se-visi terus berjuang membendung infiltrasi
Barat lewat musik.
Metal Muslim
Mendengar
nama kelompok band komunitas underground memang terkesan angker, liar,
seperti komunitas yang tidak beragama, mengusung kebebasan, penikmat
drugs, tatto, dan stigma buruk lainnya. Tapi, tak banyak yang tahu,
bahwa tak semua komunitas underground ’terbius’ racun westernisasi. Ada
memang diantara mereka yang telah melalui lembah hitam, namun hidayah
merangkulnya untuk kembali ke jalan yang lurus. Bukan rahasia, banyak
musisi ketika mencari inspirasi harus dengan mabuk lebih dulu. Kini,
sebagian individu komunitas underground telah clean alias tobat. Mereka
adalah kumpulan musisi cadas insaf, namun tetap menyalak.
Komunitas
underground punya kelompok band masing-masing dengan aliran musik yang
berbeda. Ada rock, metal, rap, punk, hardcore, grindcore, alternatif dan
sebagainya. Kebanyakan mereka bermusik di jalur indie. Meski tidak
mendeklarasikan dirinya sebagai metal Muslim atau punk Muslim, namun
tetap saja ada yang menyebut mereka metal Muslim, punk Muslim, rapper
Muslim dan sebagainya. Ketika di antara mereka bertemu dengan rekan
se-visi, lalu klop, berlanjut dengan membentuk kelompok band dengan
aliran tertentu.
Kebanyakan
anak-anak underground yang sudah melalui fase musik, biasanya akan masuk
ke fase pemikiran. Jika sudah masuk ke fase pemikiran, mereka
dihadapkan oleh dua pilihan: menjadi atheis atau menjadi agnostic
(percaya tuhan tapi tidak beragama). Intinya mereka bisa sekuler, atau
orang yang salah paham terhadap agama, terutama Islam.
Meski
saat ngeband dipanggung, tidak terdengar jelas lirik vokal yang
dibawakan, namun fans mereka mencari tahu lirik yang dimaksud. Beberapa
judul milik Tengkorak, seperti: Teroris, Jihad Soldier, adalah bentuk
penyisipan Islam, meski tak tersirat. Begitu juga dengan The Roots of
Madinah dengan beberapa judulnya: Darah di atas Pedang, Konspirasi
Haykal, Syair Tanah Terjajah, dan Dari Jakarta hingga Jalur Gaza. Tak
beda dengan Purgatory. Mereka satu visi sebagai agen Anti Zionist
Action.
Menurut
Thufail, latar belakang anak underground sendiri, justru kebanyakan
mereka dari keluarga yang mapan. Karena musik-musik underground yang
mereka bawa ke Indonesia adalah mereka yang kuliah ke luar negeri.
”Jadi
salah, kalau ada yang bilang, musisi underground itu dari lapisan
keluarga miskin dan anak jalanan. Mereka adalah orang-orang menengah ke
atas. Mereka juga datang dari kalangan yang berpendidikan, bahkan ada
yang berprofesi pengacara dan jaksa. Ketika visi-misi itu teragendakan,
mereka tularkan kepada komunitas underground lain yang belum tersentuh
keislamannya,” ujar Ombat.
Download-download
internet di tahun 90-an, adalah mainan orang kaya. Jika musik-musik itu
sampai ke Indonesia, pasti mereka yang pernah ke luar negeri. Cuma
kebanyakan dari mereka adalah dari kalangan brokenhome. Mereka mencari
pelarian melalui musik, dan membangun dunia sendiri, komunitas sendiri,
dan gaya hidup sendiri. Meski akhirnya salah jalan.
Agar
memiliki wadah bersama antar musisi metal se-visi, Thufail dan
sahabat-sahabatnya membentuk berandalan puritan plus dengan situsnya:
http://www.berandalanpuritan.blogspot.com. Sebelumnya, ada jembatan
harakah. Hingga saat sudah ada 1.000 orang yang tergabung, bukan hanya
ikatan persaudaraan, melainkan juga mengikuti gaya hidup yang tidak
melanggar moral dan agama, dalam hal ini Islam. Karakter dari anak metal
adalah melontarkan kontra propaganda. ”Metal memang identik dengan
kemarahan (angry). Tapi itulah hati nurani yang tidak dibuat-buat,” ujar
Thufail.
Saat
ini, sudah ada beberapa band yang sadar akan perlunya dakwah Islam ke
dalam komunitas underground. Untuk itu perlu skill tersendiri untuk bisa
masuk ke komunitas ini. Memang ini bukan segmen kelompok LDK atau
komunitas yang sudah mengaji di harakah-harakah, tapi murni dakwah di
kalangan underground.
Diakui
Thufail al Ghifari, perang yang sedang berlangsung saat ini adalah
perang tanpa senjata. Sebagai Muslim, tentu ibadah tertinggi adalah
jihad qital. Tapi kondisi di Indonesia belum memungkinkan untuk
diterapkan jihad Qital. Maka, yang harus dilakukan adalah mengcounter
pemikiran dengan pemikiran, teknologi dengan teknologi, ekonomi dengan
ekonomi, gaya hidup dengan gaya hidup. Inilah manuver yang kita sebut
perang tanpa senjata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar